Sabtu, 16 Mei 2009

BATAS PELANGGARAN

Namun batalnya puasa itu hanya terjadi manakala memang benar-benar terjadi persetubuhan. Sedangkan sekedar bercumbu sampai mencium, meski sampai terangsang namun tidak terjadi jima', tidak membatalkan puasa, juga tidak mewajibkan kaffarat.

Bila yang terjadi hanya sekedar percumbuan, tidak sampai jima', maka hukumnya hanya makruh saja. Tetapi tidak ada kewajiban membayar tebusan (kaffarah), bahkan tidak membatalkan puasa. Kecuali bila percumbuan itu sampai mengeluarkan mani, maka puasanya batal, tapi tidak ada kewajiban membayar kaffarat. Cukup mengganti puasanya yang batal itu saja.

Tentang kemakruhan untuk mencumbu isteri saat puasa, karena dikhawatirkan akan kelewatan yang beresiko lebih buruk. Sedangkan bila seseorang mampu menjaga diri dan menahan gejolak syahwatnya, tidak mengapa. Seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ, وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW menciumnya dalam keadaan sedang berpuasa. Dan beliau mencumbunya ketika sedang berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling mampu menahan hawa nafsunya. (HR Bukhari Muslim)

Hubungan seksual diharamkan pada saat kita sedang dalam keadaan berpuasa. Bila hal itu dilakukan di dalam puasa Ramadhan, selain membatalkan puasa, juga pelakunya terkena kaffarat.

Makna kaffarat adalah denda karena pelanggaran kesucian bulan Ramadhan. Bentuknya ada tiga level. Pertama, diwajibkan untuk membebaskan budak. Kedua, diwajibkan untuk berpuasa 2 bulan berturut-turut. Ketiga, diwajibkan untuk memberi makan fakir miskin sejumlah 60 orang.

Namun bila hubungan suami-isteri itu dilakukan di luar jam-jam kewajiban puasa, walau beberapa menit menjelang waktu shubuh, atau beberapa menit setelah masuknya waktu Maghrib, hukumnya halal.

Karena batas waktu puasa sejak mulai masuknya waktu Shubuh, bukan imsak, hingga masuknya waktu Maghrib. Sedangkan di luar kedua waktu itu, tidak wajib puasa. Sehingga boleh saja bila melakukan hal-hal yang diharamkan saat berpuasa.

Dalilnya adalah firman Allah SWT:

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa. (QS Al-Baqarah: 187)

Masalah mandi janabah yang anda tanyakan, sebenarnya tidak menjadi masalah. Sebab syarat puasa itu berbeda dengan syarat shalat. Kalau shalat membutuhkan syarat berupa kesucian dari hadats kecil dan hadats besar, maka ibadah puasa justru tidak mensyaratkan keduanya.

Sehingga boleh-boleh saja seorang yang sedang dalam keadaan berhadats besar (janabah) untuk berpuasa, dengan melewati waktu shubuh dalam keadaannya seperti itu. Dalam kata lain, seseoran yang belum mandi janabah lalu melewati waktu shubuh dalam keadaan itu, hukum puasanya tetap sah.

Tinggal yang harus dikerjakan adalah bahwa dia tetap wajib melakukan shalat shubuh. Dan shalat shubuhnya mensyaratkan kesucian dari hadats besar dan hadats kecil sekaligus. Sebelum waktu shubuhnya selesai, dia harus sudah mandi janabah dan selesai mengerjakan shalat shubuh.

Kebolehan masih melakkukan hubungan suami-isteri di saat-saat sahur ini juga harus dilakukan dengan hati-hati, serta dengan sangat memperhatikan masuknya waktu shubuh. Sebab bila keasyikan dan lupa waktu, lalu masih melakukannya padahal shubuh sudah masuk waktunya, maka akibatnya bukan hanya puasanya yang batal, tetapi juga terkena denda (kaffarat) yang lumayan berat. Karena itu pesan kami, boleh dilakukan tapi hati-hati dan ingat waktu.

Ingat bahwa anda melakukannya pada waktu injury time, jadi watch out!

Para ulama mengatakan hukumannya adalah hukuman berjenjang, mulai dari yang paling berat lebih dahulu, yaitu

  1. Membebaskan seorang budak, bila tidak sanggup karena harga budak sangat mahal maka:
  2. Berpuasa 2 bulan berturut-turut, bila tidak punya daya lagi karena misalnya sudah jompo atau sakit-sakitan, maka hukumannya adalah:
  3. Memberi makan 60 orang fakir miskin.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah”. “Apa yang membuatmu celaka?“ Aku berhubungan seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan”. Nabi bertanya, ” Apakah kamu punya uang untuk membebaskan budak?“ “Aku tidak punya.” “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?” ”Tidak.” “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“ ”Tidak.” Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekjeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambilah kurma ini untuk kamu sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (HR Bukhari: 1936, Muslim: 1111, Abu Daud 2390, Tirmizy 724, An-Nasai 3115 dan Ibnu Majah 1671)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar